Kamis, 21 Agustus 2014

Keputusan Akhir MK terhadap Sengketa hasil Pemilu 2014

Mahkamah Konstitusi memutus menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden (PHPU Presiden 2014) yang dimohonkan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Dengan demikian, Mahkamah mengukuhkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum.
“Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva mengucapkan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (21/8).
Mahkamah menyatakan seluruh dalil Pemohon yang menyatakan terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif pada Pilpres 9 Juli 2014 lalu tidak terbukti. ”Mengenai dalil adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, tidak terbukti menurut hukum. Demikian pula mengenai dalil lainnya yang tidak terbukti terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan memengaruhi perolehan suara Pemohon sehingga melampaui perolehan suara Pihak Terkait. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Menurut Mahkamah, Pemohon mempersoalkan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) yang dinilai dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memobilisasi massa memilih calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla di sejumlah provinsi, di antaranya Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur yang tidak beralasan menurut hukum. “Pemohon tidak memiliki bukti kuat bahwa pemilih DPKTb dimobilisasi oleh Termohon untuk memilih calon presiden nomor urut 2. Menurut Mahkamah, pemilih yang terdapat dalam DPKTb tidak diketahui memilih capres yang mana,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto membacakan pertimbangan hukum.
Lebih lanjut, dalil Pemohon yang menyatakan jumlah seluruh pengguna hak pilih tidak sama dengan jumlah surat suara yang digunakan dan surat suara yang digunakan tidak sama dengan jumlah suara sah dan tidak sah, sehingga merugikan Pemohon, menurut Mahkamah Pemohon tidak memiliki cukup bukti. “Pemohon tidak memiliki cukup bukti yang meyakinkan Mahkamah bahwa pemilih dimobilisasi oleh Termohon untuk memilih capres nomor urut 2. Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa ketidaksesuaian jumlah pengguna hak pilih dengan surat suara yang digunakan hanya merugikan pemohon dan ditujukan untuk memenangkan pihak terkait,” imbuhnya.
Terkait dalil Pemohon yang mengungkap terjadi politik uang di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatra Selatan untuk memenangkan capres nomor urut 2, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak ditunjukkan dengan keterangan saksi dan alat bukti memadai. Pemohon tidak melampirkan siapa yang memberi, kapan dan di mana uang tersebut diberikan, berapa jumlahnya, dan siapa yang menerima. Khusus di Kabupaten Sampang, Pemohon justru memenangkan hasil pilpres dengan 45 ribu suara, sedangkan Pihak Terkait hanya 17 ribu suara. “Hal ini menunjukkan indikasi politik uang yang dilakukan Pihak Terkait tidak benar,” tutur Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Keabsahkan Sistem Noken
Dalam pertimbangannya, Mahkamah juga menegaskan keabsahan sistem ikat atau noken yang digunakan di sejumlah daerah Provinsi Papua. Mahkamah mengatakan menghormati pemberian suara dengan sistem noken atau sistem ikat dalam Pilpres tahun 2014 dengan ketentuan sistem tersebut harus diadministrasikan dengan baik pada Formulir C1 di tingkat TPS sampai tingkat selanjutnya oleh penyelenggara Pemilu. Syarat ini penting dilakukan, terutama untuk menentukan keabsahan perolehan suara yang sekaligus untuk menghindarkan adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pilpres.
Dalam masa transisi dari sistem noken ke sistem pencoblosan, penyelenggaraan Pemilu didukung oleh seluruh pemangku kepentingan pun harus proaktif untuk mensosialisasikan dan menginternalisasikan sistem Pemilu yang dimuat oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Papua telah dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan secara nasional, baik dengan sistem pencoblosan surat suara, maupun pemilihan dengan menggunakan sistem noken/ikat dengan berbagai variasinya yang telah diakui keabsahannya oleh Mahkamah selama ini,” ujar Arief.
Pelanggaran di Dogiyai Papua
Untuk Distrik Mapia Tengah dan Mapia Barat, Kabupaten Dogiyai, Mahkamah menyatakan telah terjadi pelanggaran. Hal tersebut terbukti berdasarkan keterangan Bawaslu yang dibenarkan oleh saksi Termohon dalam persidangan bahwa dua distrik yang bermasalah di Kabupaten Dogiyai adalah Distrik Mapia Tengah dan Distrik Mapia Barat.
Menurut keterangan saksi di persidangan, hingga H-2 proses rekapitulasi Pilpres, kedua distrik tersebut belum menerima logistik pemilu. Kendari ada pelanggaran, KPU Provinsi Papua tidak dapat melaksanakan rekomendasi Bawaslu untuk melakukan Pemilu susulan di dua distrik tersebut karena baru menerima rekomendasi tanggal 19 Juli 2015 sore, padahal tanggal 20 Juli 2014 dilakukan Rapat Pleno Rekapitulasi Penghitungan suara di tingkat KPU Pusat.
KPU Provinsi Papua tidak dapat melaksanakan rekomendasi Bawaslu Provinsi Papua karena logistik Pemilu tidak mencukupi untuk dilakukan Pemilu Susulan. Sekalipun KPU Provinsi Papua tidak dapat melaksanakan rekomendasi Bawaslu Provinsi Papua, namun KPU Provinsi Papua telah membawa permasalahan di Distrik Mapia Tengah dan Mapia Barat untuk dapat diselesaikan di Pleno KPU tingkat pusat. Pada saat permasalahan tersebut disampaikan dalam Pleno KPU tingkat pusat, Bawaslu memberikan pendapat agar perolehan suara di Distrik Mapia Tengah dan Mapia Barat di-nol-kan. (tidak dihitung)”.

Walaupun ada pelanggaran, Mahkamah tidak memerintahkan pemungutan suara ulang di dua distrik tersebut karena tidak akan mempengaruhi peringkat perolehan suara. “Menurut Mahkamah memang terbukti sebagian terjadi pelanggaran, namun seandainyapun Mahkamah memerintahkan supaya Termohon melakukan Pemungutan Suara Ulang di beberapa TPS di atas tidak akan dapat mengubah peringkat perolehan suara kedua pasangan calon,” tegasnya.
Sumber : mahkamahkonstitusi.go.id

UANG NKRI 2014




Indonesia akhirnya memiliki uang baru yakni uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pecahan Rp100.000 Tahun Emisi 2014. Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri menyebut uang NKRI ini memiliki beberapa filosofi.

"Apa yang membuat mata uang NKRI pecahan Rp100.000 ini berbeda? Banyak yang bertanya kepada saya, sepintas memang ini bersifat seremonial, tapi ada filosofinya," ucap Chatib di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (18/8/2014).



Chatib menjelaskan, filosofi yang pertama adalah bahwa uang yang diedarkan selama ini tidak ada frase Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun dengan undang-undang nomor 7 Tahun 2011 atau undang-undang mata uang ini, akhirnya pemerintah dan BI menerbitkan pecahan Rp100.000 ini sebagai uang NKRI.

"Bukan berarti BI selama ini bukan bagian NKRI, tapi ini mempertegas bahwa uang ini uang Indonesia. Sudah disampaikan bahwa cirinya adalah ada gambar burung Garuda, frase NKRI, ada lambang BI, lalu ditandatanganin oleh Gubernur BI dan Menkeu dan ini simbol dari pemerintah diwakili Menkeu dan BI, oleh karena itu kemarin ditandai beredarnya dari uang NKRI Rp100.000 tahun emisi 2014," lanjutnya. 


Terlebih dari itu, lanjut Chatib mengungkapkan dengan terbitnya uang NKRI ini merupakan kedaulatan negara Indonesia. "Intinya dengan diberlakukannya uang NKRI ini adalah momentum bagus, untuk menjalankan amanat undang-undang nomor 7 tahun 2011 yakni kedaulatan menggunakan mata uang Rupiah. Ini sangat baik digunakan," tukasnya.


"Bahwa kita akui, banyak kasus dalam bertransaksi masih menggunakan mata uang asing, ini terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Dengan adanya uang NKRI ini seharusnya kita cinta kepada Rupiah," tegas Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (18/8/2014).Chatib menambahkan, selain itu dengan adanya uang NKRI seharusnya transaksi dengan menggunakan Rupiah lebih banyak dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hal ini pun merupakan cerminan dari undang-undang mata uang.


"Ini juga sebagai momentum Rupiah menjadi alat pembayaran sah satu-satunya di Indonesia, kecuali memang diperjanjikan dengan menggunakan mata uang asing sesuai undang-undang yang berlaku," sebutnya.Chatib mengungkapkan, memang ini butuh langkah sosialisasi secara khusus dan terlaksana dalam menggunakan mata uang Rupiah bukan mata uang asing.


"Kami sudah lakukan langkah-langkah ini. Dengan transaksi Rupiah di dalam kegiatan perekonomian itu ada dampak psikologisnya yang signifikan untuk menyukai, memegang dan menggunakan rupiah dibandingkan uang asing termasuk di daerah terpencil hingga pulau terluar Indonesia," paparnya.



Selain itu,  Kementerian Keuangan meminta kepada masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku usaha untuk selalu gunakan mata uang Rupiah dalam bertransaksi. Hal ini tidak terlepas baru saja diresmikan uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pecahan Rp100.000 Tahun Emisi 2014.

Sumber : economy.okezone.com