Mahkamah Konstitusi memutus
menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil
presiden (PHPU Presiden 2014) yang dimohonkan oleh pasangan calon presiden dan
wakil presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Dengan demikian, Mahkamah mengukuhkan
pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden
terpilih berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum.
“Dalam
pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK
Hamdan Zoelva mengucapkan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (21/8).
Mahkamah
menyatakan seluruh dalil Pemohon yang menyatakan terjadi pelanggaran yang
terstruktur, sistematis, dan masif pada Pilpres 9 Juli 2014 lalu tidak
terbukti. ”Mengenai dalil adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur,
sistematis, dan masif, tidak terbukti menurut hukum. Demikian pula mengenai
dalil lainnya yang tidak terbukti terjadi secara terstruktur, sistematis, dan
masif yang secara signifikan memengaruhi perolehan suara Pemohon sehingga
melampaui perolehan suara Pihak Terkait. Oleh karena itu, menurut Mahkamah,
dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Menurut
Mahkamah, Pemohon mempersoalkan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) yang
dinilai dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memobilisasi massa
memilih calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Joko Widodo dan Jusuf
Kalla di sejumlah provinsi, di antaranya Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur
yang tidak beralasan menurut hukum. “Pemohon tidak memiliki bukti kuat bahwa
pemilih DPKTb dimobilisasi oleh Termohon untuk memilih calon presiden nomor
urut 2. Menurut Mahkamah, pemilih yang terdapat dalam DPKTb tidak diketahui
memilih capres yang mana,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto membacakan
pertimbangan hukum.
Lebih
lanjut, dalil Pemohon yang menyatakan jumlah seluruh pengguna hak pilih tidak
sama dengan jumlah surat suara yang digunakan dan surat suara yang digunakan
tidak sama dengan jumlah suara sah dan tidak sah, sehingga merugikan Pemohon,
menurut Mahkamah Pemohon tidak memiliki cukup bukti. “Pemohon tidak memiliki
cukup bukti yang meyakinkan Mahkamah bahwa pemilih dimobilisasi oleh Termohon
untuk memilih capres nomor urut 2. Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa
ketidaksesuaian jumlah pengguna hak pilih dengan surat suara yang digunakan hanya
merugikan pemohon dan ditujukan untuk memenangkan pihak terkait,” imbuhnya.
Terkait
dalil Pemohon yang mengungkap terjadi politik uang di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatra Selatan
untuk memenangkan capres nomor urut 2, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak
ditunjukkan dengan keterangan saksi dan alat bukti memadai. Pemohon tidak
melampirkan siapa yang memberi, kapan dan di mana uang tersebut diberikan,
berapa jumlahnya, dan siapa yang menerima. Khusus di Kabupaten Sampang, Pemohon
justru memenangkan hasil pilpres dengan 45 ribu suara, sedangkan Pihak Terkait
hanya 17 ribu suara. “Hal ini menunjukkan indikasi politik uang yang dilakukan
Pihak Terkait tidak benar,” tutur Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Keabsahkan
Sistem Noken
Dalam pertimbangannya,
Mahkamah juga menegaskan keabsahan sistem ikat atau noken yang digunakan di
sejumlah daerah Provinsi Papua. Mahkamah mengatakan menghormati pemberian suara
dengan sistem noken atau sistem ikat dalam Pilpres tahun 2014 dengan ketentuan
sistem tersebut harus diadministrasikan dengan baik pada Formulir C1 di tingkat
TPS sampai tingkat selanjutnya oleh penyelenggara Pemilu. Syarat ini penting
dilakukan, terutama untuk menentukan keabsahan perolehan suara yang sekaligus
untuk menghindarkan adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pilpres.
Dalam
masa transisi dari sistem noken ke sistem pencoblosan, penyelenggaraan Pemilu
didukung oleh seluruh pemangku kepentingan pun harus proaktif untuk
mensosialisasikan dan menginternalisasikan sistem Pemilu yang dimuat oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden di Papua telah dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan secara
nasional, baik dengan sistem pencoblosan surat suara, maupun pemilihan dengan
menggunakan sistem noken/ikat dengan berbagai variasinya yang telah diakui
keabsahannya oleh Mahkamah selama ini,” ujar Arief.
Pelanggaran
di Dogiyai Papua
Untuk
Distrik Mapia Tengah dan Mapia Barat, Kabupaten Dogiyai, Mahkamah menyatakan
telah terjadi pelanggaran. Hal tersebut terbukti berdasarkan keterangan Bawaslu
yang dibenarkan oleh saksi Termohon dalam persidangan bahwa dua distrik yang bermasalah di
Kabupaten Dogiyai adalah Distrik Mapia Tengah dan Distrik Mapia Barat.
Menurut
keterangan saksi di persidangan, hingga H-2 proses rekapitulasi Pilpres, kedua
distrik tersebut belum menerima logistik pemilu. Kendari ada pelanggaran, KPU
Provinsi Papua tidak dapat melaksanakan rekomendasi Bawaslu untuk melakukan
Pemilu susulan di dua distrik tersebut karena baru menerima rekomendasi tanggal
19 Juli 2015 sore, padahal tanggal 20 Juli 2014 dilakukan Rapat Pleno
Rekapitulasi Penghitungan suara di tingkat KPU Pusat.
KPU
Provinsi Papua tidak dapat melaksanakan rekomendasi Bawaslu Provinsi Papua
karena logistik Pemilu tidak mencukupi untuk dilakukan Pemilu Susulan.
Sekalipun KPU Provinsi Papua tidak dapat melaksanakan rekomendasi Bawaslu
Provinsi Papua, namun KPU Provinsi Papua telah membawa permasalahan di Distrik
Mapia Tengah dan Mapia Barat untuk dapat diselesaikan di Pleno KPU tingkat
pusat. Pada saat permasalahan tersebut disampaikan dalam Pleno KPU tingkat
pusat, Bawaslu memberikan pendapat agar perolehan suara di Distrik Mapia Tengah
dan Mapia Barat di-nol-kan. (tidak dihitung)”.
Walaupun
ada pelanggaran, Mahkamah tidak memerintahkan pemungutan suara ulang di dua
distrik tersebut karena tidak akan mempengaruhi peringkat perolehan suara.
“Menurut Mahkamah memang terbukti sebagian terjadi pelanggaran, namun
seandainyapun Mahkamah memerintahkan supaya Termohon melakukan Pemungutan Suara
Ulang di beberapa TPS di atas tidak akan dapat mengubah peringkat perolehan
suara kedua pasangan calon,” tegasnya.
Sumber : mahkamahkonstitusi.go.id